Home   |   Easter Articles   |   Free Easter e-Cards Greeting Gift

Easter Short Stories

What is the meaning of Easter?
While the focus was once on Easter Sunday, now it is on the Easter Bunny. But Easter Sunday is much more than a day of colorful plastic eggs and chocolate bunnies; it is in fact a day that left the world forever changed.

It had been three days since Jesus had received the death penalty by popular vote. His friends and followers were devastated, as they had come to believe that He was not just an ordinary man, but the Son of God. He had performed miracles, healed every disease, and even brought a man back from the dead.

On that third day—the day we now celebrate as Easter Sunday—His friends went to His grave, but instead of finding His body, they found an open tomb with no body in it. In fact, what they saw was an angel who told them, “Don’t be afraid! I know you are looking for Jesus, who was crucified. He isn’t here! He has been raised from the dead, just as He said it would happen” (Matthew 28:5, 6).

Jesus rose from the dead on Easter Sunday; now He offers to you the gift of eternal life and forgiveness of sins. This is the true story of Easter, and this salvation is for you.   GOD loves YOU!


Paskah, "Tribute" Solidaritas

Oleh Armada Riyanto
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/26/opini/1642734.htm
http://www.gsn-soeki.com/wouw/

BAGIKU Tuhan adalah kebenaran dan kasih... Dia sabar menderita," kata Gandhi, seorang Hindu taat, yang memandang jalan 
hidupnya bagai jalan salib Yesus, yang dia kagumi (Robert Ellsberg, ed, Gandhi on Christianity, Yogyakarta: LKiS, 2004, 178). 
Benar. Ketika Tuhan dipandang sebagai Dia yang akrab dengan kehidupan, Tuhan pun berduka saat manusia berduka. Dia menangis 
saat melihat manusia yang dicintainya menangis. Tuhan pun sedih kala memandangi makhluk-makhluk ciptaan-Nya dilanda bencana 
hebat.

Itulah tribute solidaritas Tuhan, Sang Kebenaran dan Kasih. Itulah Paskah. Dalam Paskah, Tuhan adalah Tuhan yang menderita. 
Manusia seakan "didekap" Tuhan. Paskah adalah saat Yesus, Almasih, diperingati sebagai manusia sekaligus Tuhan yang menderita 
dan wafat di salib. "Mendekap" kerapuhan dan kefanaan manusia.

Ketika melihat Yesus luka dan mati, bahkan mati digantung di salib bak penjahat kelas kakap yang menjadi tontonan aib, yang 
terlintas dalam benak kita adalah penderitaan setiap manusia.

SALIB dan derita manusia adalah absurditas peradaban. Realitas kematian dramatis Kristus yang menggelantung di salib 
melukiskan betapa dahsyat kengerian derita manusia. Dan, itu nyata.

Seorang bapak di Irak menggendong kedua anak lelakinya yang terkulai mati oleh ledakan bom, merupakan realitas salib yang 
mengerikan. Pemuda Aceh yang dibunuh dan diikat terkulai di pohon dalam kondisi telanjang kecuali kain yang membelit sedikit, 
apakah itu bukan realitas derita yang absurd? Bencana kelaparan di Afrika yang berlimpah sumber alam: sebuah lukisan paradoks 
naif. Di Papua dan Kalimantan, lebih kurang sama: berlimpah ruah kemiskinan hidup manusia di satu pihak dan kekayaan alam di 
lain pihak. Manusia kurus kering dalam sosok-sosok Darfur, Sudan, tersiksa meneriakkan keadilan dan perdamaian. Dan, tak ada 
yang mendengarkan.

Anak-anak, wanita, para miskin terlunta-lunta. Atau, kehinaan petani yang direntangkan pada salib berupa palang sekop dan 
garpu: bukankah itu sinisme realitas yang memalukan? Instrumen pertanian yang semestinya menjadi alat mengolah tanah agar 
asap dapur tetap mengepul menjadi palang penghinaan. Sebuah lukisan derita sehari-hari di sekitar kita. Derita milik petani, 
nelayan, peternak, pedagang kecil, tetangga kita.

Empasan gelombang tsunami yang memorak-porandakan kehidupan saudara- saudari kita di Aceh, Nias, dan beberapa negara tetangga 
menjadi wujud duka yang tak terkira. Bencana kekeringan di wilayah Lembata (Flores) yang menyengsarakan ribuan penduduk 
seakan juga menandai sebuah fakta tiada henti kemalangan manusia.

Ironisnya, para petinggi Indonesia tetap saja menampilkan arogansi. Sidang-sidangnya yang mahal dibuat ricuh, seakan-akan 
lumpuh sampai dikucurkan uang kompensasi dan menuntut kenaikan gaji amat tinggi. Drama-drama duka dan kekacauan seperti itu 
bukan ornamen peradaban, melainkan bagian dari keseharian kita.

DRAMA derita Yesus adalah prototipe duka manusia. Artinya, penderitaan dahsyat itu nyata dalam hidup manusia. Simaklah apa 
yang menjadi pengalaman duka luar biasa dari mereka yang dilanda bencana tsunami. Ketika mata menyaksikan betapa dahsyatnya 
kekuatan alam menghantam segala macam bentuk kehidupan, hati dan budi kita menerawang kepada sebuah "nasib malang".

Derita Kristus adalah tribute solidaritas kepada manusia yang tidak pernah bisa menghindar dari kodrat kefanaannya. Ketika 
Yesus sekarat di salib, Ia ikut berduka bersama mereka yang sedang terpuruk karena bencana. Ketika mati, Ia tidak melucuti 
diri-Nya dari realitas paling menggetarkan itu. Ia berteriak, Eloi, Eloi lama sabakhtani? (Allahku ya Allahku, mengapa Kau 
tinggalkan aku?). Sebuah teriakan kesendirian.

Maka, apakah tsunami itu "hukuman Tuhan" karena kemaksiatan manusia?

Peristiwa Paskah mengajak kita berefleksi dalam cara berbeda. Seperti yang dipikirkan Gandhi, Tuhan pun adalah Tuhan yang 
sabar menderita. Kalau Tuhan sabar menderita, masihkah ada ruang kemungkinan bagi Tuhan menurunkan hukuman? Tuhan adalah 
Tuhan kebenaran dan kasih, yang memungkinkan setiap manusia merasa dicintai Tuhan, jauh mengatasi dosa dan kerapuhannya.

Gaya berpikir Gandhi adalah gaya berpikir seorang manusia yang mencari Tuhannya tidak dalam dogma, tetapi dalam pengalaman 
hidup yang penuh perjuangan, duka dan derita. Kemahakuasaan Tuhan justru tampil dalam ketidakberdayaan-Nya. Dalam 
penderitaan-Nya. Bukan pada kedahsyatan hukuman-Nya!

Dalam Yesus, derita salib amat sakit. Painful. Jauh lebih sakit ketimbang yang bisa ditawarkan oleh sebuah film penyaliban 
Yesus secara paling keji sekalipun. Salib adalah lukisan kehinaan paling rendah dalam peradaban manusia. Tidak ada yang lebih 
rendah daripada sebuah hukuman digantung di kayu salib.

Filosof Agustinus memiliki refleksi menggugah. Dalam salib, dia melihat cinta yang tuntas dari Tuhan. Salib adalah wujud 
paling sempurna dari cinta Tuhan kepada manusia. Maka, "terlambat aku mencintai-Mu, ya Tuhan!" Demikian keluh Agustinus.

"Terlambat" dalam mencintai Allah sebab sudah sejak awalnya cinta Allah telah begitu dahsyat kepadanya, tetapi seperti halnya 
manusia yang lain, dia merasa terlambat menyadarinya. Namun, menyusul eksklamasi kerinduan ... inquietum est cor meum donec 
requiescat in Te (gelisah hatiku ya Allah sampai aku beristirahat di dalam Engkau).

Lain halnya bagi Hegel. Logika salib tidak masuk dalam rasionalitas manusia. Jalan salib bukan rujukan historisitas manusia. 
Ketika salib merupakan simbol penolakan, manusia tidak mungkin berpaling kepadanya. Salib bukan hanya via dolorosa, melainkan 
via irrasionale. Salib itu kegagalan. Kekalahan. Kehinaan. Perendahan. Penolakan total eksistensi manusia. Pemenuhan hiperbol 
kekerasan dan kehancuran sekaligus. Dalam sejarah, belum pernah ada yang mati dihukum salib, lantas namanya diingat dan 
ditulis dalam peradaban manusia. Salib berarti Tuhan tidak ada. Sebab jika Tuhan mati, segala yang ada tidak bisa 
dibayangkan.

Hegel melupakan tribute solidaritas Tuhan pada manusia. Salib itu solidaritas tuntas. Kematian Kristus memiliki makna 
simbolik dan real sekaligus terhadap derita manusia. Ketika Natal, Tuhan lahir dalam kemiskinan menyapa setiap bentuk 
kemiskinan hidup manusia. Dalam Paskah, kematian Tuhan menunjukkan solidaritas yang sehabis-habisnya kepada setiap bentuk 
kehinaan, duka, derita, dan kecemasan manusia. Tidak ada duka yang tanpa makna.

Yesus mati. Tetapi, Ia juga bangkit pada hari ketiga. Kematian Kristus yang berlanjut kepada kebangkitan menampilkan sebuah 
panorama baru mengenai peziarahan eksistensi manusia. Kematian bukanlah akhir segalanya. Tersembul sebuah harapan akan 
wilayah keabadian yang belum pernah ada lukisannya sebelumnya. Dengan demikian, kematian Kristus memastikan sebuah 
penyeberangan yang menggetarkan, dari realitas kematian menuju keabadian. Bukan sebuah penyeberangan mudah. Tetapi, sebuah 
penyeberangan menuju pengharapan.

Sebagian bangsa kita tengah mengarungi sebuah pengalaman berat penyeberangan dari realitas penderitaan yang hebat kepada 
pengharapan. Maka, tidak ada sebuah persembahan terindah selain menampilkan solidaritas tanpa batas kepada mereka. Dalam 
wujud apa saja, uluran kasih yang tuntas, tak bersyarat. Seperti Tuhan sendiri dalam refleksi Gandhi.

Armada Riyanto CM Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang


Easter Photo
Easter Song
Greeting e-Cards
Easter Egg

Free Greeting e-Cards:
         
         



Easter Articles:
 
Browse the web faster

Easter Short Stories
Christian Articles
Greeting e-Cards



  Home   |   Easter Articles   |   Free Easter e-Cards Greeting Gift
  @ 1997-2007 GSN Hosting (FX. Sukiyanto, S.Kom)